Kekuatan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Malaysia Sering Diabaikan

Menteri Industri Pertanian dan Komoditas Datuk Zuraida mengatakan bahwa meskipun ada beberapa peningkatan kesadaran Uni Eropa (UE) terhadap minyak kelapa sawit berkelanjutan dan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Malaysia (Malaysian Sustainable Palm Oil / MSPO), masih belum ada pemahaman yang cukup tentang metrik atau nilainya ataupun keberhasilannya.

Menurut Dewan Minyak Kelapa Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Board / MPOB), 3.040 perkebunan atau 96,04 persen terdiri dari 4.640.895 hektar tertanam yang telah memperoleh sertifikasi MSPO per 30 Juni 2020, sementara itu ada 400 kilang minyak atau 88,5 persen yang telah bersertifikasi MSPO.

"Kekuatan standar MSPO sering diabaikan mengingat favoritisme blok ekonomi terhadap sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Meja Bundar  (Roundtable on Sustainable Palm Oil / RSPO), katanya pada hari Sabtu (4 Juni) dalam sebuah artikel berjudul: MSPO: usaha Pemerintah dalam memastikan keberlanjutan industri minyak kelapa sawit.

Standar MSPO diselaraskan dengan pengelolaan produksi minyak kelapa sawit dengan banyak undang-undang dan peraturan nasional yang ada. Dalam konteks keberlanjutan minyak kelapa sawit, skema yang mirip telah diimplementasikan seperti RSPO dan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil / ISPO).

Singkatnya, sertifikasi MSPO menekankan manajemen yang kredibel berkelanjutan dan bertanggung jawab untuk membawa dampak sosial, lingkungan dan ekonomi yang positif sambil meminimalkan dampak negatif, terutama pada manusia dan lingkungan, tambahnya.

RSPO

RSPO dikembangkan oleh tim internasional yang terdiri dari produsen minyak kelapa sawit, pedagang, investor dan organisasi nirlaba pada tahun 2004, kurang lebih satu dekade sebelum MSPO.

RSPO adalah kelompok dengan berbagai pemangku kepentingan, kelompok nirlaba yang mempersatukan tujuh sektor industri minyak kelapa sawit dalam dialog reguler, termasuk investor, petani, pedagang dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menggunakan sistem pemungutan suara konsensus untuk mengembangkan standar dan kriteria pada proses berkelanjutan.

Saat ini, 20 persen minyak kelapa sawit di dunia bersertifikasi RSPO.

Sebagai perintis sertifikasi , RSPO telah dipuji karena mendorong pertumbuhan dan menggunakan minyak kelapa sawit berkelanjutan. Tidak diragukan, ketika ditanam secara bertanggung jawab, kelap sawit sangat efisien dalam penggunaan lahan.

Dari beberapa hasil panen utama (kelapa sawit, kedelai, bunga matahari dan kanola), kelapa sawit menempati lahan yang paling sedikit tetapi menghasilkan minyak paling banyak.

Satu ekar (0,40 hektar) kelapa sawit memproduksi 11 kali lebih banyak minyak dibandingkan kacang kedelai dan 10 kali lebih banyak daripada bunga matahari.

Namun belakangan ini, RSPO telah dikritik, terutama oleh organisasi nirlaba karena merasa standarnya gagal memberikan perlindungan yang memadai bagi hutan asli ataupun tenaga kerja minyak kelapa sawit  maupun perlindungan iklim.

Dalam artikelnya, Zuraida mengutip pendiri Grassroots, Andrew Ng, yang mengatakan: "Konflik hak asasi manusia dan hutan yang baru dan yang sudah ada terkait dengan pemegang sertifikar RSPO menunjukkan bahwa terlepas dari upaya Komite Tetap Jaminan RSPO, klaim minyak kelapa sawit berkelanjutan masih tidak bisa diandalkan.”

Di antara RSPO, ada hampir 5.000 anggotanya merupakan perusahaan multinasional terbesar di dunia, seperti Unilever, Procter & Gamble, Kellogg’s dan Johnson & Johnson.

Ruang untuk perbaiakan

Jelas bahwa masih ada ruang untuk bertumbuh bagi skema sertifikasi seperti RSPO dalam upaya untuk menanamkan kepercayaan pada klaim mereka, menurut Badan Investigasi Lingkungan Inggris, katanya.

Melihat Inggris dan Uni Eropa segera memperkenalakan undang-undang baru untuk mengatasi ilegalitas, hak atas tanah dan deforestasi dalam rantai pasokan, hal ini telah menjadi semakin jelas.

Faktanya, sebuah laporan yang diadopsi oleh Parlemen UE telah menyoroti bahwa skema sertifikasi hanya dapat saling melengkapi dan tidak pernah dapat menggantikan uji tuntas oleh perusahaan karena kekhawatiran bahwa skeman sertifikasi saja tidak efektif, tambahnya.

Majalah Terbaru

Sponsor Kami