Sustainability dan kaitannya dengan Gas Rumah Kaca
Oleh: Dr Rosediana Suharto
Pengamat sawit berkelanjutan
Responsible Sustainable Palm Oil Initiatives (RPOI)
Sesuai laporan the World Commission on Environment and Development yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland dengan judul “Our Common Future” (United Nation, 1987), disebutkan bahwa Kemanusiaan memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan (sustainability). Pembangunan berkelanjutan ini perlu, agar dapat memastikan bahwa generasi sekarang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep pembangunan berkelanjutan menyiratkan batasan, tetapi batasan absolut atau batasan yang dipaksakan oleh keadaan teknologi dan organisasi sosial saat ini tergantung pada sumber daya lingkungan dan oleh kemampuan biosfer untuk menyerap efek dari aktivitas manusia.
Tetapi teknologi dan organisasi sosial dapat dikelola dan ditingkatkan untuk membuka arah bagi era baru pertumbuhan ekonomi. The World Commission on Environment and Development (WCED), menyatakan bahwa kemiskinan yang meluas tidak dapat terelakkan lagi. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar semua orang dan memperluas semua kesempatan untuk memenuhi aspirasi mereka demi kehidupan yang lebih baik. Dunia di mana kemiskinan menjadi endemik akan selalu rentan terhadap bencana ekologis dan bencana lainnya.
Sustainability telah menjadi tujuan bisnis, nirlaba, dan pemerintah yang sering disebutkan dalam dekade terakhir, namun mengukur sejauh mana suatu organisasi dapat menerapkan sustainability dapat mencapai pertumbuhan berkelanjutan dengan cepat, diperkirakan memerlukan usaha yang keras.
John Elkington berusaha mengukur keberlanjutan selama pertengahan 1994-an dengan memasukkan kerangka kerja baru untuk mengukur kinerja di perusahaan Amerika, (Slaper 2011).
Jauh sebelum Elkington memperkenalkan konsep keberlanjutan sebagai "triple bottom line" (TBL) atau dikenal juga sebagai 3P (People, Planet dan Profit), para pecinta lingkungan bergulat dengan ukuran dan kerangka kerja untuk keberlanjutan.
Disiplin akademik yang melaksanakan studi dan percobaan penerapan seputar sustainablity telah berlipat ganda melakukannya dalam 30 tahun terakhir. Para akademisi dan non akademisi yang telah melakukan studi dan mempraktikkan sustainability, setuju dengan definisi umum Andrew Savitz (2006) untuk Triple Bottom Line (TBL). TBL menangkap esensi keberlanjutan dengan mengukur dampak aktivitas organisasi di dunia termasuk profitabilitas dan nilai pemegang saham serta modal sosial, manusia, dan lingkungannya. Triknya bukanlah mendefinisikan TBL. Triknya adalah mengukurnya.
Akuntansi ini, disebut triple bottom line (TBL), yang melampaui ukuran keuntungan tradisional, laba atas investasi, dan nilai pemegang saham untuk memasukkan dimensi lingkungan dan sosial. Berfokus pada hasil investasi yang komprehensif—yaitu, kinerja berikut dimensi keuntungan (profit), manusia (people), dan lingkungan (planet) yang saling berhubungan, pelaporan triple bottom line dapat menjadi alat penting untuk mendukung tujuan keberlanjutan.
Menyikapi pernyataan ini, pada akhir 1990-an istilah 3P ( People, Planet and Profit) atau “triple bottom line (TBL)” mulai dikenalkan oleh J .Elkington yang didasari pada laporan Brundtland. Sesuai hasil studi dan survei para ahli internasional terdapat hubungan antara 3P dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).
Penerapan 3P
Marc J. Epstein (2008) melakukan percobaan penerapan 3P di sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat dan di Eropa dan hasilnya, perusahaan memperlihatkan kinerja yang lebih baik di ketiga sektor, yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi. Perusahaan memberikan perlindungan kepada pekerja seperti seharusnya dan melakukan hal lain yang lebih terukur.
Epstein dalam bukunya “Making Sustainability Work “(2008) menyampaikan bahwa “sustainability has been defined as economic development thet meets the needs of the present generation with out compromising the ability of future generation to meet their own need . For bussiness this include the issues of corporate social responsibility and citizenship along with improve management corporate social and environment impacts and improve stakeholder engagement.”
Epstein menjelaskan bahwa sustainability sangat diminati dan mendapat perhatian yang sangat penting karena :
- Aturan Pemerintah dan kode etik (code of conduct) mewajibkan perusahaan memberikan perhatian dan meningkatkan aktifitas terkait sustainability. Tidak memenuhi peraturan yang berlaku dan telah berlaku (masih sampai sekarang) mengakibatkan perusahaan harus membayar mahal meliputi :
- Penalti dan denda (Penalties and fines)
- Biaya legal (Legal cost)
- Kehilangan produktivitas dan tambahan inspeksi (Lost of productivity and additional inspections)
- Potensi tutupnya operasi (Potential closure of operations)
- Efek terkait dengan reputasi perusahaan (The related effects on corporated reputations)
- Hubungan Masyarakat
Masyarakat umum dan aktifis LSM semakin sadar akan sustainability, potensi dan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Mengidentifikasi masalah sosial dan lingkungan oleh perusahaan menjadi penting bagi pemangku kepentingan utama dan berpotensi meningkatkan hubungan pemangku kepentingan dapat menumbuhkan loyalitas dan kepercayaan. Memperoleh lisensi untuk beroperasi dari pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting bagi perusahaan untuk dapat menjalankan bisnis secara berkelanjutan. Kinerja perusahaan yang baik dan keberlanjutan dapat meningkatkan reputasi positif dengan para pemangku kepentingan dan meningkatkan hubungan masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan. - Biaya dan Pendapatan
Sustainability dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan melalui peningkatan pendapatan dan biaya yang lebih rendah. Dengan kata lain, menerapkan sustainability merupakan keputusan bisnis yang baik. Pendapatan dapat ditingkatkan melalui peningkatan penjualan karena meningkatnya reputasi perusahaan, terutama dimana kesadaran masyarakat tentang efek perusahaan terhadap lingkungan dan sosial lebih tinggi. Biaya produksi dan lainnya dapat diturunkan karena perbaikan proses. Mengidentifikasi area di mana hal yang dilakukan baik untuk masyarakat, baik untuk lingkungan, dan baik untuk perusahaan adalah kunci - Sosial dan kewajiban moral
Bila perusahaan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat, perusahaan memiliki bertanggung jawab untuk menerapkan sustainabilty. Kepedulian pribadi terhadap kewajiban sosial dan moral telah membuat beberapa eksekutif dan senior manajemen perusahaan menerapkan sustainability sebagai salah satu strategi mereka. Pimpinan perusahaan mengenal adanya hubungan yang erat antara bisnis dan masyarakat dan mendefinisikan kembali tanggung jawab ekonomi, lingkungan, dan sosial pada konsep keberlanjutan. Sejumlah besar pemimpin perusahaan telah mengadopsi keberlanjutan untuk setiap alasan yang disebutkan di atas.
Di dalam buku Marc J. Epstein ( 2008) terdapat lebih dari 95 perusahaan yang menerapkan sustainability principles dan mengurangi impact dari environment misalnya Addidas Solomon, British American Tobacco, Cadburry – Schweppes, Coca Cola, Colgate, Unilever, Hennes & Mauritz ,Dow Chemical , Dupont dll.
Kesimpulan dari uraian diatas bahwa sustainability terkait lingkungan dan Gas Rumah Kaca, sosial dan ekonomi sangat penting bagi perusahaan dan masyarakat . Namun akhir akhir ini masalah lingkungan ( environment) berpengaruh besar karena telah terjadi efek perubahan iklim yang dirasakan makin meningkat dan menyebabkan kesulitan ekonomi. Banyak negara memberikan perhatian khusus kepada masalah ini. Negara perlu mencapai emisi nol bersih (net zero emission) untuk mencapai komitmen sesuai Paris Agreement. Hal ini menyatakan bahwa kenaikan suhu rata-rata global harus “jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan melakukan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C”.
Pengertian dan penerapan sustainability di beberapa negara dan organisasi
Pada kenyataan banyak pihak mengartikan sustainability secara berbeda. Uni Eropa (UE) menyatakan sustainabilty dengan pertimbangan lebih berat kepada land use change (jenis tanah yang ditanam dengan tutupan lahannya) dan Penghematan Emisi Gas Rumah Kaca/ green house gas (GHG) emission saving. Untuk biofuel, UE tidak memasukkan kriteria sosial dan economi dalam penerapan sustainabilitynya. Untuk perhitungan GHG emission selain dari perubahan penggunaan lahan secara langsung (Direct Land Use change, DLUC), emisi juga dihitung dari perubahan penggunaan tidak langsung (Indirect Land Use Change, ILUC).
Bila emisi dari ILUC lebih tinggi dari emisi DLUC, maka emisi DLUC tersebut dapat diabaikan. Untuk biofuel atau biodiesel dari minyak sawit penggunaannya di Eropa dikurangi menjadi hanya 7% pada tahun 2023 dan akan berakhir penggunaan ( phase out) biofuel dari palm oil metil ester (PME) pada tahun 2030.
Dalam salah satu penjelasan UE menyatakan dapat membatasi penggunaan biofuel dari minyak sawit dengan mengenakan instrumen perdagangan lain yang telah diterapkan, misalnya subsidi dan anti dumping duty.
Agar minyak sawit dapat digunakan untuk pembuatan biofuel /PME maka harus disertifikasi sustainability low ILUC risk (risiko rendah) yang kriterianya persyaratan sulit dipenuhi. Hal ini sesuai dengan peraturan yang terdapat pada Commission Regulation on rules to verify sustainability and greenhouse gas emissions saving criteria and low indirect land-use change-risk 146 (2022) C(2022)3740
Penerapan sustainability di Amerika Serikat (AS)
Pada bulan November 2021, pemerintah Amerika Serikat menerbitkan Rencana Jangka Panjang untuk Amerika Serikat: Jalur untuk mencapai emisi GRK net-zero tahun 2050 (The Long-Term Strategy of the United States: Pathways to Net-Zero Greenhouse Gas Emissions by 2050) yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri AS dan Kantor Eksekutif Kepresidenan AS (United States Department of State and the United States Executive Office of the President, Washington DC). Ditanda tangani oleh John Kerry , Special Presidential Envoy for Climate and Gina Mc Carthy, National Climate Advisor. Pada Desember 2021, Presiden AS meresmikan penerapan Rencana Federal untuk Keberlanjutan (THE FEDERAL SUSTAINABILITY PLAN)
Berdasarkan Presiden Biden Executive Order untuk mengkatalisasi industri dan energi bersih melalui Federal Sustainability Plan dan The Long Term Strategies (secara kolektif disebut sebagai “The Federal Sustainability Plan “) menetapkan berbagai tujuan ambisius untuk mencapai pengurangan emisi. Ini konsisten dengan tujuan Presiden Biden dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di AS sebesar 50–52 persen dari tingkat tahun 2005 pada tahun 2030 dan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, sesuai tuntutan berdasarkan sains. Melalui Rencana Keberlanjutan Federal, Pemerintah Federal akan mencapai hal-hal berikut:
Rincian tiap program ini terdapat pada Federal Sustainability Plan adalah sebagai berikut:
Pada Desember 2021, Presiden Biden menandatangani Perintah Eksekutif yang mengarahkan Pemerintah Federal untuk menggunakan skala dan kekuatan pengadaannya untuk mencapai lima sasaran ambisius berikut:
- Seratus persen listrik bebas polusi karbon pada tahun 2030 (100 percent carbon pollution-free electricity (CFE) by 2030) dimana setengahnya disuplai oleh energi bersih lokal untuk mencapai permintaan 24/7
- Seratus persen akuisisi kendaraan emisi net-zero (100 percent zero-emission vehicle) (ZEV) pada 2035, ini mencakup 100 persen akuisisi net-zero light-duty vehicle pada 2027
- Emisi Net-zero dari pengadaan Federal
Tindakan eksekutif ini merupakan bagian dari komitmen Presiden yang lebih luas untuk meningkatkan investasi industri teknologi bersih, sekaligus mempercepat kemajuan Amerika menuju pencapaian sektor listrik bebas polusi karbon pada tahun 2035.
Kebijakan Amerika Serikat mengutamakan pengurangan emisi (net zero emission) disegala bidang, dengan tujuan mengurangi perubahan suhu global. Aksi eksekutif ini, diharapkan dapat melindungi kerusakan alam, melindungi pekerja. Karena terjadinya perubahan iklim, diperkirakan rakyat AS akan kehilangan pekerjaan karena akan terjadi perubahan alam berupa perubahan suhu tinggi atau rendah sekali,akan timbul penyakit baru yang meluas, kerusakan alam dan hilang biodiversity dsb. Untuk kelanjutan industri dan kehidupan, emisi di semua sektor harus diturunkan Nationally Determined Contribution (NDC), Amerika Serikat ialah 50-52% dari tahun 2005 pada tahun 2030.
Seperti Uni Eropa, Amerika Serikat juga mengenakan administrasi yang cukup berat bagi palm oil biodiesel yang diimpor dari Indonesia dan ketentuan yang terkait dengan batas emisi serta ketentuan emisi ILUC dan berbagai ketentuan lainnya. Indonesia telah terkena minimal 2 kali anti dumping duty dari AS seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa . Hal ini disebabkan menurut mereka Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tinggi terutama dari hutan yang menyebabkan emisi yang dihasilkan cukup tinggi.
Tingkat ambisi ini menjadi basis bagi Intended NDC Uni Eropa yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca domestik hingga 40% dari tingkat tahun 1990 pada tahun 2030.
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
Sejak tahun 2000-an dunia persawitan dihebohkan dengan bermacam macam issu yang dilemparkan oleh NGO terutama yang terkait penerapan sustainability. Ini contohnya kerusakan lingkungan karena penanaman sawit termasuk meningkatnya GHG emisi karena perubahan penggunaan lahan, kesejahteraan buruh, buruh paksa, buruh anak anak, kesetaraan gender dll. Pada awal milenium baru ini, belum banyak yang mengerti apa yang dimaksud dengan sustainability.
Pada 2001, WWF memulai mengeksplorasi kemungkinan menciptakan sebuah roundtable untuk minyak sawit berkelanjutan. Hasilnya adalah kerja sama informal antara Aarhus United UK Ltd, Golden Hope Plantations Berhad, Migros, Malaysian Palm Oil Association, Sainsbury’s dan Unilever bersama WWF pada tahun 2002.
Sebagai respons terhadap dorongan global bagi pengelolaan minyak sawit berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dibentuk pada tahun 2004 dengan tujuan untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk-produk minyak sawit berkelanjutan melalui standar global kredibel dan keterlibatan para pemangku kepentingan. Anggota-anggota pendirinya adalah sama dengan yang bekerjasama dengan WWF diatas, yaitu Aarhus United UK Ltd., Karlshamns AB (Swedia), Malaysian Palm Oil Association (MPOA), Migros Genossenschafts Bund (Switzerland), Unilever NV (Netherlands), dan Worldwide Fund for Nature (WWF). Organisasi-organisasi berikut juga turut aktif di Dewan Eksekutif RSPO sejak awal Golden Hope Plantations Berhad (Malaysia), Loders Croklaan (Netherlands), Pacic Rim Palm Oil Ltd (Singapore), dan The Body Shop (UK). Kantor Pusat organisasi ini berlokasi di Zurich, Swiss, sedangkan sekretariat berlokasi di Kuala Lumpur dengan Kantor Perwakilan di Jakarta. RSPO terdaftar di Swiss sebagai NGO.
RSPO adalah organisasi pertama yang menyusun sistem sustainability untuk kebun sawit yang bertujuan menghasilkan CPO yang sustainable karena buah yang dihasilkan sustainable yang ditujukan sebagai bahan baku industri. Ini dilakukan dengan tujuan memproduksi end products dengan perlakuan lainnya misalnya biofuel, mentega , toiletories, dll.
Sebagai respons terhadap dorongan global bagi pengelolaan minyak sawit berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dibentuk pada tahun 2004 dengan tujuan untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan melalui standar global kredibel dan keterlibatan para pemangku kepentingan.
Sustainablity didalam RSPO adalah penerapan suatu sistem yang sustainable bagi perkebunan sawit dengan menerapkan Good Agricultural Practices serta mendeteksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mengurangi praktek yang akan meningkatkan GRK. Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, lahan yang mengandung high carbon stock (stok karbon tinggi) seperti hutan, lahan gambut dan semak belukar tua tidak boleh ditanami. RSPO juga mewajibkan anggota tidak boleh menanam di area yang mereka sebut High Conservation Value (HCV), dimana terdapat 6 (enam) macam HCV yang harus diterapkan, berlainan dengan lahan dengan high carbon stock. HCV mengandung hal yang lain misalnya keanekaragaman spesies, ekosistem dan mosaic, ekosistem dan habitat, jasa ekosistem, kebutuhan masyarakat dan budaya. Dapat disimpulkan bahwa buah yang dihasilkan oleh kebun yang menerapkan P&C RSPO adalah buah yang sustainable dengan akan menghasilkan CPO yang sustainable.
Dalam penerapannya di pasar global, suatu produk distandarkan dapat diperdagangkan atas permintaan pembeli melalui pesanan kapal dengan cost insurance and freight (CIF), tentu bukan yang free on board (FOB) dimana minyak sawit yang dijual dilepas dikapal dan dapat dibeli oleh pembeli yang berlokasi beda dengan negara tujuan virtual. Ini untuk menjamin keterlacakbalikan sawit sustainable tersebut.
Terdapat 2 modul yang terdapat pada mekanisma supply chain requirements for mills yaitu :
- Identity Preserved
Sebuah Mill/pabrik kelapa sawit dianggap menerapkan Identity Preserved (IP) jika TBS diproses oleh pabrik tersebut bersumber dari perkebunan yang bersertifikat. Prinsip dan Kriteria RSPO (P&C RSPO), atau bertentangan dengan Skema Sertifikasi Group.
Sertifikasi untuk pabrik CPO diperlukan untuk memverifikasi volume dan sumber TBS bersertifikat yang masuk ke pabrik, pelaksanaan apapun kontrol pemrosesan (misalnya, jika pemisahan fisik digunakan) dan volume penjualan produk bersertifikasi RSPO. - Mass Balance
Sebuah mill atau pabrik dianggap memproduksi minyak sawit sebagai Mass Balance (MB) jika pabrik memproses TBS dari perkebunan bersertifikat RSPO dan kebun yang tidak bersertifikat. Penggilingan mungkin mengambil pengiriman TBS dari petani yang tidak bersertifikat, selain itu dari basis pasokan bersertifikat dan pihak ketiga. Dalam skenario ini, pabrik hanya dapat mengklaim volume produk kelapa sawit yang dihasilkan pengolahan TBS bersertifikat sebagai MB.
RSPO masih memberikan toleransi akan produk yang tidak bersertifikat untuk memberi peluang kepada petani yang tidak dapat disertifikasi karena tidak dapat memenuhi prinsip dan kriteria. Demikian juga halnya dengan ketentuan Mass Balance pada artikel 35 dari Renewable Energy Directive on the promotion of the use of energy from renewable sources (recast) ( EU Directive 2019/2001), namun didalam EU RED mass balance itu bukan perbedaan karena bahan baku yang tidak disertifikasi tetapi karena kandungan energinya yang berbeda. Untuk pelaksanaan audit juga EU menetapkan ketentuan yang berbeda.
Sesuai dengan pembahasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa EU, USA , RSPO menerapkan sustainabilty, jika dikaji dengan sekilas, semua berdasarkan prinsip 3P. EU lebih mengutamakan saving emission untuk tujuan mengurangi effek dari perubahan iklim. Namun, telah dilakukan argumen di berbagai forum termasuk antar negara, bahwa EU melakukan penilaian dengan dasar yang kurang scientific, yaitu dengan memasukkan perubahan lahan tidak langsung, yaitu sebagai emisi dari indirect land use change (ILUC).
Penerapan Sustainability di Indonesia
Penerapan sustainability di Indonesia di mulai dengan menerapkan sistem sustainability dikebun sawit untuk menghasilkan buah yang sustainable, selanjutnya diproses menjadi minyak yang sustainable dalam hal ini Crude Palm Oil (CPO). CPO yang sustainable merupakan produk yang diperdagangkan, sedangkan tandan buah sawit diperdagangkan hanya untuk pasar lokal. Untuk dapat diperdagang di pasar international produk atau CPO tersebut dapat memenuhi persyaratan WTO Annex 1 Technical Barrier to Trade (TBT).
Sistem sustainable ini dikenal dengan Prinsip and Criteria, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang pada mula penyiapannya banyak dipengaruhi oleh prinsip dan kriteria RSPO, demikian juga model perdagangannya. Walaupun demikian pada mulanya prinsip dan kriteria ISPO masih menerapkan ISO series Guide dalam hal sistem sertifikasi, audit dan akreditasi
Agar sistem ini kredible semua unsur didalamnya harus dapat memenuhi standar internasional misalnya sertifikasi dan audit dan akreditasi; semua ketentuan tersebut telah terdapat didalam dokumen ISO. Karena Indonesia dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional (BSN) ialah anggota International Organization for Standardization ( ISO) dan ISO beranggota 167 negara maka sudah sepantasnya bila suatu standar memenuhi ketentuan ISO, ketentuan tersebut pastilah di adopsi oleh negara anggotanya.
Maka penting sekali adanya keselarasan antara standar ISPO yang sedang berjalan dengan ISO, sehingga ISPO bukan saja menjadi alat sertifikasi di dalam negeri tapi juga diterima secara global.
Di Indonesia persyaratan untuk menjadi auditor juga seharusnya mengikuti SNI ISO 19011 tentang Pedoman Audit Sistem Manajemen dan pada umumnya para auditor telah juga di training untuk ISO 19011, bila menerapkan ketentuan lain maka sulit mendapatkan auditor yang mampu melakukan audit. Auditor harus juga dibekali dengan pengetahuan ISO 14001 dan ISO 9001 untuk meningkatkan kompetensinya dalam memahami pengelolaan lingkungan dan sistem manajemen.
Pada saat ini, disinyalir berbagai info bahwa banyak auditor yang belum mampu mendemonstrasikan SNI ISO 19011 pada saat audit ISPO. Untuk itu penting sekali semua auditor mengerti dan diselaraskan dengan standar internasional sehingga mereka bisa bersaing di pasar internasional. Semua auditor harus juga dibekali ISO 14001 dan standar ISO lainnya untuk dapat mengerti penerapan standar lingkungan dan standar 3P dalam sustainability lainnya (misalnya sosial) dalam melakukan tugasnya sebagai auditor sertifikasi sustainability.
Prinsip dan Kriteria yang disusun pada tahap pertama ( ISPO 2015) dimaksudkan setelah uji lapangan akan diserahkan kepada Badan Standardisas Nasional ( BSN) untuk diproses menjadi Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) agar CPO dapat diperdagangkan sesuai Undang Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi Dan Penilaian Kesesuaian dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi Dan Penilaian Kesesuaian Nasional. Pendekatan diatas juga akan memudahkan kerja sama dengan Badan Standardisasi lainnya di luar negeri sesuai ketentuan Mutual Recognition Arrangement ( MRA).
Pemikiran diatas disampaikan karena standar atau ketentuan yang diterapkan pada komoditi apapun bukan untuk hanya membuat standar baru, tetapi standar diciptakan dalam rangka memenuhi permintaan pasar dan permintaan pembeli. Selain standar ada ukuran yang mirip dengan standar misalnya Principle and Criteria. Seperti diketahui bahwa standar adalah instrumen perdagangan. Oleh karena itu, dalam penciptaan dan penerapan standar untuk produk Indonesia, seharusnya sensitif terhadap permintaan pasar, namun jangan terlalu memberatkan komoditi Indonesia sendiri.
Net Zero Emission
Terkait dengan comittment Presiden di Glasgow pada Pertemuan UNFCCC pada tahun 2022 bahwa Indonesia juga akan menerapkan Industri bersih dan net zero emission pada tahun 2030 dan pencapaian tertinggi diperkirakan terjadi pada tahun 2050.
Industri minyak sawit selalu dituduh oleh stakeholder luar negeri dalam berbagai publikasinya, sebagai penyumbang emisi terbesar sedangkan sumbangan emisi dari pensuplai tenaga listrik, emisi transport, industi, bangunan /gedung dan emisi dari rumah tangga tidak disebutkan.
Untuk mengatasi hal ini, seharusnya dilakukan penelitian yang scientifik, dan melibatkan tidak hanya ilmuwan dan pakar dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Sebaiknya yang diteliti adalah emisi dari industri perkebunan sawit, proses produksi hingga barang jadinya dan perencanaan atau target untuk mencapai net zero emission. Kita harus ingat bahwa dibanding komoditas yang lain, industri sawit adalah salah satu industri yang pertama kali menerapkan sustainability. Rencana jangka panjang penurunan emisi yang diterbitkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan judul INDONESIA Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (Indonesia LTS-LCCR 2050) , dimana perkiraan produksi dan emisi dari kebun sawit juga diuraikan di dalamnya
Sebaiknya Indonesia memiliki rencana penurunan emisi net zero emission untuk semua kegiatan yang mengeluarkan emisi tidak hanya kegiatan pertanian dan kehilangan hutan (deforestation) saja tetapi seharusnya kegiatan lainnya seperti kelistrikan (energi), industri,tranportasi, bangunan, rumah tangga dll.
Bogor . 3 Januari 2022