RENCANA KENAIKAN PAJAK IMPOR MINYAK SAWIT INDIA DAPAT MERUGIKAN EKSPOR INDONESIA

Rencana India, pembeli minyak nabati terbesar dunia, untuk menaikkan pajak impor komoditas tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekspor minyak sawit Indonesia.

India secara konsisten menjadi tujuan ekspor terbesar kedua untuk produk minyak nabati Indonesia, membeli 16 persen dari total pengiriman negara itu tahun lalu, menurut data Pusat Perdagangan Internasional (ITC), di bawah pangsa China yang sebesar 21 persen.

Muhammad Osribillal, analis industri dan regional di Bank Mandiri, mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Senin bahwa jika pajak yang direncanakan tersebut diterapkan, pembeli India akan tetap membeli CPO Indonesia dan produk minyak kelapa sawit olahan, pemutih, dan penghilang bau (RBDPO). Namun, kenaikan tarif akan menghambat pertumbuhan permintaan untuk komoditas tersebut.

Dari tahun 2015 hingga 2019, periode di mana India menaikkan tarif impor CPO dari 7,5 persen menjadi 40 persen, ekspor minyak sawit Indonesia ke New Delhi tampak stabil, kata Osribillal.

Impor CPO India naik rata-rata 75 persen dalam lima tahun sebelum kenaikan tarif sebelumnya, tetapi impor negara itu mandek pada tahun-tahun setelah kenaikan pajak.

“Pertumbuhan impor CPO stagnan sejak 2015 hingga 2023, bahkan turun hingga 1,9 persen,” ujarnya.

Rencana kenaikan pajak baru India berupaya membantu melindungi petani dari penurunan harga minyak sayur, dua sumber pemerintah mengatakan pada 28 Agustus, Reuters melaporkan.

India menghapuskan pajak impor dasar atas minyak nabati mentah untuk mendinginkan harga pada tahun 2022, tetapi negara tersebut masih mengenakan pajak sebesar 5,5 persen, yang dikenal sebagai Pajak Infrastruktur dan Pembangunan Pertanian, yang mencakup minyak nabati.

Untuk impor produk RBDPO, New Delhi mengenakan tarif pajak sebesar 13,75 persen.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa asosiasi tersebut belum menerima informasi apa pun tentang masalah tersebut, tetapi ia menduga pajak impor yang lebih tinggi akan membuat produk minyak sawit lebih mahal bagi pembeli di India.

Ia mengatakan ekspor ke India masih berjalan seperti biasa “karena permintaan masih ada”.

Malvika Priyadarshini, penasihat Kedutaan Besar India untuk ekonomi dan perdagangan, mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa kedutaan tidak memiliki informasi terperinci tentang masalah tersebut.

Josua Pardede, kepala ekonom di pemberi pinjaman swasta Bank Permata, mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa tarif impor yang lebih tinggi yang direncanakan India akan mengurangi daya saing minyak sawit Indonesia dibandingkan dengan minyak nabati yang diproduksi di pasar domestik India.

Ia memperkirakan konsumen India akan beralih ke minyak sayur produksi lokal, karena negara tersebut memproduksi “minyak kedelai dan minyak lobak dalam jumlah yang cukup besar”.

Ia menyarankan agar pemerintah terlibat dalam upaya diversifikasi tujuan ekspor CPO Indonesia untuk mengurangi dampak penurunan permintaan dari pembeli utama seperti India.

“Pemerintah juga dapat mempercepat upaya peningkatan konsumsi CPO dalam negeri untuk mengantisipasi menurunnya permintaan ekspor, seperti dengan menjalankan program mandatori B40,” kata Josua.

Ia merujuk pada rencana pemerintah yang tertunda untuk meningkatkan proporsi metil ester asam lemak turunan minyak sawit (FAME) yang dibutuhkan dalam biodiesel negara ini dari 35 persen menjadi 40 persen, sedangkan sisanya merupakan bahan bakar diesel fosil.

Majalah Terbaru

Sponsor Kami